Kamis, 15 Januari 2009

wara’ para sufi

Yang dimaksud wara’ menurut Sahal bin AbduLlah adalah meninggalkan hal-hal yang tidak pasti (Syubhat), yaitu hal-hal yang tidak berfaedah. Sedangkan menurut As-Syibli, wara’ merupakan upaya untuk menghindarkan diri dari berbagai hal yang tidak berkaitan dengan Allah SWT.

Diceritakan oleh Ishaq bin Khalaf, wara’ dalam ilmu logika lebih hebat daripada emas dan perak. Sedangkan zuhud dalam ilmu kepemimpinan lebih hebat daripada keduanya. Oleh karena itu engkau dapat mengumpulkan keduanya dalam meraih kepemimpinan.

Menurut Abu Sulaiman Ad-Daraani, wara’ merupakan permulaan zuhud sedangkan qana’ah merupakan akhir keridhaan. Sedangkan menurut Abu Utsman, pahala wara’ adalah takut kepada hisab (perhitungan amal).

Dikisahkan suatu hari AbduLlah bin Marwan mengalami kebangkrutan. Dia berada di dalam sebuah sumur yang kotor. Setelah menyebut nama Allah, dia dapat keluar dari sumur tersebut. “Menyebut nama Allah dengan harap dan cemas adalah bagian dari wara’”.

Yahya bin Mu’adz berkata, “Wara’ terbagi menjadi dua, pertama wara’ lahir yakni semua gerak aktivitas yang hanya tertuju kepada Allah SWT. Kedua, wara’ bathin, yakni hati yang tidak dimasuki sesuatu kecuali hanya mengingat Allah. Barang siapa yang belum merasakan lezatnya wara’ dia belum pernah menikmati pemberian Allah SWT. Mereka yang pandangan keagamaannya bagus, kelak ditinggikan derajatnya oleh Allah di hari kiyamat”.

Ma’ruf Al-Kharqi berucap, sikap wara’ termasuk menjaga diri dari perbuatan tercela, juga menjaga diri dari pujian.

Harits Al-Muhasibi pernah mengulurkan tangannya untuk mengambil makanan syubhat. Tiba-tiba ujung jarinya berkeringat sehingga ia tahu bahwa makanan tersebut tidak halal. Sedangkan sahabat Bishri Al-Maafi pernah diundang dalam suatu acara. Makanan tersebut diletakkan di dhadapannya. Namun ketika ia mengulurkan tangannya ternyata tangannya tidak bisa digerakkan. Itu diulanginya sampai tiga kali, tetapi tidak bisa juga. Sesungguhnya tangannya tidak bisa diulurkan pada makanan yang syubhat.

Pada kisah yang lain diceritakan bahwa Hasan Al-Bashri bertanya kepada putera ‘Ali RA, “Apakah kebesaran agama ?” Dia menjawab sikap ‘Wara’’. Kemudian ditanyakan lagi, “Apa penyakit agama ?” Dia menjawab ‘Tamak’.

Hasan bin Sinan belum pernah tidur terlentang, belum pernah makan samin, belum pernah minum air dingin. Suatu saat ia bermimpi meninggal dunia. Dalam kondisi demikian ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang telah Allah berikan kepadamu”. Dia menjawab, “Kebaikan, hanya saja saya terhalang masuk surga karena sebatang jarum yang pernah saya pinjam tapi belum saya kembalikan.”

Begitulah sikap wara’ para sufi zaman dahulu. Menurut Imam Al-Ghazali wara’ adalah menahan diri dari larangan Allah SWT. Ada tiga macam wara’. Pertama wara’ shidiqqin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak ada dalil atau bukti kehalalannya. Kedua wara’ Muttaqiin yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak mengandung syubhat tetapi dikhawatirkan membawa kepada yang haram. Dan yang ketiga adalah wara’ shalihin yaitu meninggalkan hal-hal yang –boleh jadi- halal atau haram, tetapi belum tentu menyehatkan / baik untuk badan (thayib).

Salah satu sikap mulia yang dimiliki Sahal bin AbduLlah disamping wara’ adalah zuhud terhadap dunia. Dalam arti umum adalah tidak mencintai sesuatu, tidak tertarik atau terpikat olehnya. Dalam kajian tasawuf, kata zuhud biasanya dikaitkan dengan kesenangan duniawi. Zuhud terhadap dunia berarti tidak tertarik, tidak tergiur dan tidak terlena oleh kesenangan duniawi.

Sikap zuhud terhadap dunia itu berakar dari penilaian bahwa dunia dengan segala kesenangannya adalah lebih rendah nilainya daripada akhirat. Jadi pada sikap zuhud itu tersirat sikap lebih mencintai atau tertarik kepada akhirat atau kepada Tuhan Yang Maha Baik.

Maka zuhud sebenarnya tidak pernah muncul di dalam Al-Qur’an kecuali hanya sekali saja dalam bentuj zahidiin (QS 12, : 20). Akhirat jauh lebih baik bagi para pelaku zuhud karena kenikmatan yang jauh lebih kekal jika dibandingkan dunia.

Esensi zuhud itu juga dapat dilihat dari perikehidupan RasuluLlah SAW dan para sahabat yang hidup dengan penuh kesederhanaan baik dalam hal makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. RasuluLlah SAW sering melakukan puasa, sering mengalami lapar, menghentikann makan sebelum kenyang, setiap malam bangun untuk beribadah, melakukan munajat dan tafakur. RasuluLlah SAW tidak pernah menyimpan harta apaalgi sampai menumpuknya, dan tidak ada harta yang dapat beliau wariskan. Para sahabatpun mengikuti pola sederhana yang dicontohkan RasuluLlah SAW. Mereka meskipun sebagian tergolong berharta, tetap zuhud terhadap harta yang mereka miliki. Mereka siap menyarahkan hartanya sewaktu-waktu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau untuk jihad di jalan Allah. Hati mereka tidak tergiur oleh harta yang mereka miliki.

Zuhud dalam kajian tasawuf dipandang sebagai salah satu maqam bagi calon sufi dalam perjalanan ruhaniah mencapai tujuan menjadi sufi. Kedudukan seorang zahid setingkat di bawah sufi, dan seorang sufi pasti seorang zahid. Zahid yang berhasil menjadi sufi adalah yang telah berhasil mencapai makrifat.
Seperti yang lain, zahid juga memiliki tingkatan-tingkatan. Ada tingkatan zuhud terhadap segala yang haram menurut norma syari’at, ada tingkatan zuhud yang lebih tinggi, yaitu zuhud terhadap hal yang diragukan kehalalannya. Zuhud yang diusahakan calon sufi adalah zuhud tingkat tertinggi yaitu zuhud terhadap dunia materi dan apa yang dibutuhkan oleh jasmani meskipun halal menurut norma syari’at. Hanya saja tingkat tersebut dapat dicapai dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tulus serta kecintaan yang tinggi kepada Allah SWT.

Rabu, 14 Januari 2009

DZIKIR KEPADA ALLAH SWT

Allah telah menyuruh orang orang beriman untuk selalu berdzikir, mendekatkan diri kepada-Nya dengan rasa cinta, keprasahan dan penuh kedamaian. Alloh berfirman :



ياأيها الذين أذكروا الله ذكرا كثيرا. وسبحوه بكرة وأصيلا.



“Hai orang orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang “ (QS. AL Ahzab: 41-42)



Kemudian ditegaskan pula bahwa apapun yang dibisikkan oleh hati seseorang Allah mengetahuinya, dan Dia selalu lebih dekat kepada manusia dari pada urat nadinya sendiri.(QS. Qaaf: 16). Tentu saja, kedekatan ini bukan berarti dekatnya jarak, karena sama sekali Allah tidak dibatasi oleh suatu jarak.

Dzkir, meskipun tidak termasuk ibadah fardhu namun sangat dianjurkan dalam Islam. Disebabkan keutamaan yang terkandung didalam dzikir sangat banyak, terutama untuk meningkatkan kedekatan dan kecintaan kepada Allah SWT. Apalagi dunia modern dewasa ini sudah menjadi terlalu rasional dan cenderung materialistis, sehinga manusia merasakan penat dan ingin kembali ke hal-hal religius untuk merengguk kesejukan agama melalui dzikir. Karena di dalamnya menjanjikan kedamaian akibat pengaruh psikologis yang dikandungnya. Firman Alloh :


ألآ بذكر الله تطمئن القلوب



Ingatlah dengan berdzikir kepada Alloh hati akan menjadi tenang. ( QS. Ar Ra’ad: 28)



Pendek kata, masyarakat modern memang haus dengan perilaku kerohanian. Setelah kepuasan dunia terpenuhi, mereka membutuhkan kepuasan lain, yaitu kenikmatan rohani. Mereka butuh keseimbangan hidup. Karena kehidupan manusia di dunia tidak hanya untuk memberikan kesenangan material semata, tapi perlu keseimbangan dan keserasian, yakni dapat menyerasikan lahir dan bathin serta mencapai kebahagian dan keselamatan dunia akhiratnya.



Manusia akan menemukan tingkat kedeketan pada Allah, selagi ia terus menerus dalam dzikir, dan terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang bisa melupakan Tuhan. Karena dzikir dapat menjadi penghubung antara hamba dan Tuhan, dan merupakan kunci pembuka tabir yang menutupi hubungan hamba dengan Tuhan. Tabir yang disebabkan kekotoran hati manusia dapat disucikan dengan alat pensuci dzikrullah, sehingga terbukalah hijab, dan hati menjadi dekat dengan Allah.

Rasullah SAW. Bersabda :


لكل شيء صقالة وصقالةالقلب ذكرالله



“Bahwasanya bagi tiap-tiap sesuatu itu ada alat untuk mensucikannya dan alat mensucikan hati itu ialah dzikrullah.”



Dalam hadis lain disebutkan :



لا تكثروا الكلام بغيرذ كر الله فان كثرة الكلام بغير ذكر الله تورث قسوة القلب واناابعد الناس من الله القلب القاسى



‘Janganlah kamu memperbanyak pembicaraan tanpa ingat kepada AllahST. Sesungguhnya banyak pembicaraan tanpa mengingat Allah akan menimbulkan kekerasan hati, dan sesunguhnya sejauh-jauhnya manusia dari Allah adalah hati yang kesat.”



Dzikir merupakan tiang yang kuat untuk menuju Allah, juga sebagai langkah utama menuju jalan cinta kepada Allah. Sebab orang tak dapat mencapai rasa cinta, tanpa mengingat-Nya terus menerus. Orang yang beriman dan cinta kepeda Allah hatinya selalu dihiasi dengan dzikrullah. Karena dzikir telah dijadikan santapan bagi jiwa mereka. Hidup tanpa terus mengingat Allah akan mengakibatkan robohnya bangunan spiritual yang menjadi penyanggah utama stabilitas mental seseorang.

Jadi sebenarnya, manusia itu bisa mencapai mahabbah Ilahiyah dengan menempuh jalan dzikrullah. Allah sendiri telah memberi petunjuk dan menerangkan cara cara berdzikir kepadaNya, dan dianjurkan Nya supaya orang orang mukmin memperbanyak zikir. Dalam kitab Salalimul Fudlola’ disebutkan, salah satu waktu yang tepat untuk berdzikir adalah setelah selesei melaksanakan sholat Shubuh. Waktu tersebut hendaknya diisi dengan pembacaan dzikir, tasbih, doa dan ayat-ayat al Qur’an hingga matahari terbit. Imam Ghozali menyatakan banyak ayat-ayat yang menerangkan tentang keutamaan waktu ini diantaranya :


فسبح بحمد ربك قبل طلوع الشمس وقبل غروبها



maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu sebelum matahari terbit dan sebelum terbenam.


واذكر اسم ربك بكرة وأصيلا

Dan sebutlah nama Tuhanmu di waktu pagi dan sore.



Rosululloh bersabda :



من صلى الفجر فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة



Barang siapa yang sholat Shubuh dengan berjama’ah lalu duduk dengan berdzikir kepada Alloh sampai matahari terbit kemudian ia sholat dua Roka’at, maka ia akan memperoleh pahala sebagaimana pahalanya Haji dah Umaroh.



Dari itulah, maka bila ada hamba Allah yang mulazamah(terus menerus)menjalankan dzikir, janganlah sekali kali meremahkan. Sebab bagaimanapun orang yang demikian itu sudah tergolong orang orang yang memperoleh inayah berupa Nur Ilahi didalam dirinya. Betapa tidak? Tatkala hati seseorang tergetar dan lidahnya bergerak karena dzikir berarti Allah telah menganugerahi cahaya iman kepadanya dan menambah kokoh keyakinannya. Maka perbanyaklah dzikrullah dan ber-muraqabatu Hudhurihi (mengintai ngintai kehadiranNya). Umpamanya dengan selalu menjalankan wirid, yaitu segala kegiatan ibadah yang secara teratur dan tekun dilakkan karena Allah, seperti solat solat sunnah, puasa, zikir,do’a dan sebagainya. Sebaiknya jangan sampai diri seorang melupakan dzikir, meskipun disaat zikir belum tentu hatinya ingat kepada Allah. Tetapi itu masih jauh lebih baik dairi pada meninggalkan sama sekali. Sebab kelalaian hati terhadap Allah ketika tidak berzikir. Karena pada saat jiwa seseorang tidak mengingat Tuhannya, maka setan leluasa membisiknya agar melakukan larangan larangan Nya. Sebaliknya, orang yang ingat kepada Allah dengan sebenar benarnya, pasti ia tak akan terjerumus dalam maksiat dan dosa. Sebab, waktu ia mengucapkan nama Allah akan terbukalah hatinya dan bertambalah imannya, sehingga hati pun tertuju pada hal hal yang hak. Itulah sebabnya dalam ilmu tasauf dikatakan, bahwa kalau diringkas, sebenarnya jalan kepada Allah dalam metode suluk itu hanya melalui dua usaha. Pertama, mulazamah, yaitu terus menerus dalam dzikrullah. Kedua, mukhalafa, yaitu terus menerus menghindarkan diri dariu segala sesuatu yang dapat melupakan Allah, dimana jika hati dilalaikan oleh gangguan setan ataupun dorongan nafsu hendaklah dilaan dengan dzikrullah.

Tersebut dalam hadist :



عن عا ئشة رضي الله عنها انها قالت : من احب الله تعالى اكثر ذكره وثمرته ان يذكره الله برحمته غفرانه ويدْخله الجنة مع أنبيائه وأوليائه.



“Diriwayatkan dari Aisyah ra. Sesungguhna dia berkata: “Barang siapa cinta kepada Allah SWT. Niscaya ia banyak zikir kepadaNya. Dan buahnya adalah Allah akan selalu mengingatnya dengan rahmat dan ampunanNya, serta akan memasukkannya kedalam surga bersama para Nabi dan orang orang yang dicintaiNya “



Lebih lebih bila seseorang mengamalkan zikir dengan bimbingan seorang Syeikh Tharikat, tentu zikirnya akan lebih besar faidahnya dan pikirannya dapat terkonsentrasi, serta perhatian jiwanya menjadi efektif. Apabila Syeikh pembimbing rohani itu seorang sufi yang sudah mencapai tahap Fana’, yakni sudah menduduki tingkat hudhurul qalbi (hadirnya hati bersama Allah) maka pengaruh bimbingannya akan cepat efektif, terutama bagi murid yang mempunyai bakat, bahkan ia bisa memberi kemampuan pada muridnya untuk mengalami keajaiban spiritual yang sama. Syeikh Mursyid penuntun rohani setingkat ini, dia mesti mempunyai kemampuan Kasyfil qulub, misalnya mampu membaca pikiran muridnya, dan kasyil qubur, misalnya bisa melihat kondisi orang mati dalam kubur serta mengetahui kondisi masa lalu dan masa yang akan datang dari dunia ini. Di mana untuk bisa memahami masalah Kasyf ini, banyak kisah-kisah menarik dari pergaulan-pergaulan sufi dan mursyid-nya. Misalnya kisah kesufian seorang syeikh yang suatu kali mempunyai seorang murid yang ia sayangi lebih dari yang lain menurut pertimbangan kasyfil qulub-nya, tetapi malah membangkitkan rasa iri diantara mereka. Maka pada suatu hari sang Syeikh memberi masing-masing muridnya seekor unggas dan memerintahkan mereka untuk pergi dan membunuhnya di suatu tempat yang tak ada seorang pun bisa melihat. Sesuai perintah itu setiap muridnya membunuh unggasnya di tempat yang tersembunyi dan membawanya kembali, kecuali murid Syaikh yang disayanginya itu. Ia membawa kembali unggas itu dalam keadaan hidup, seraya berkata, “Saya tak bisa menemukan tempat seperti itu, karena Allah selalu melihatku diman-mana.” Sang Syaikh pun berkata kepada murid-muridnya yang lain: “Sekarang kamu tahu tingkatan anak muda ini. Ia telah mencapai tingkat selalu mengingat Allah.” Wallahu A’lam Bish Shawab